Abstract

This paper addresses the processes and products of musical hybridity as they relate to genre formation in postcolonial Indonesia. Initial discussion of hybridity theory provides a framework for focus on two hybrid genres whose circumstances of creation, intended audiences, media presence, and degrees of flexibility contrast markedly. The first is South Sulawesi’s simponi kecapi, a calculated invention involving indigenous instruments (boat-lute, bamboo flute, and drum) in combinations inspired by the Western symphony orchestra; the second is Central Java’s campur sari (lit. “mixed essence”), a more fluid and commercially successful genre combining gamelan instruments with keyboard synthesizer and electric guitars.

Abstract

Artikel ini membahas proses dan hasil hibriditas dalam musik dan hubungannya dengan pembentukan genre musik di Indonesia masa postkolonial. Pembahasan awal mengenai teori hibriditas dipakai sebagai kerangka untuk fokus pada dua genre hibrida yang memiliki perbedaan besar dalam hal keadaan penciptaan, sasaran pendengar, keberadaannya di media, dan tingkat keluwesannya. Yang pertama adalah “simponi kecapi” dari Sulawesi Selatan, sebuah kesenian rekayasa yang memakai kombinasi berbagai alat khas daerah (kecapi, suling, gendang) dengan inspirasi dari orkes barat; yang kedua adalah “campur sari” dari Jawa Tengah, sebuah genre yang lebih lentur dan lebih laku di pasaran, yang menggabungkan alat gamelan dengan elektone (keyboard synthesizer) dan gitar listrik.

pdf